Monday, February 13, 2012

Album Review : The Black Keys - El Camino | Mamas Gun - The Life and Soul

The Black Keys – El Camino
           
Album ketujuh duo asal Akron, Ohio ini selalu menunjukkan bahwa sebuah band yang beranggotakan dua orang saja tidaklah mengurangi superioritas dalam bermusikalitas. Setelah merilis album keenam mereka, Brothers, penuh nada minor berkarisma mereka tahun 2010 lalu, kali ini El Camino menghadirkan nuansa blues rock dengan sentuhan psikedelika yang liar dari Dan Auerbach &  Patrick Carney. Cover album sederhana pun digunakan, yakni sebuah mobil van yang ternyata menunjukkan kendaraan mereka untuk tur pada awal karir mereka. ‘Lonely Boy’ yang didaulat menjadi nomor pertama pun berhasil membuka album yang berisi 11 lagu ini dengan raungan gitar Auerbach yang sederhana namun menggoda. Beat yang dihasilkan Carney sang drummer dapat pula mengimbangi rhythm guitar Auerbach di nomor ‘Gold On The Ceiling’. Lagu pelan dengan lirik kuat seperti “oh can it be, the voices calling me, they get lost & out of time” secara kalem dibungkus dalam nomor ‘Little Black Submarines’. Selain Lonely Boy, ‘Sister’ juga dapat disematkan gelar lagu terbaik, dengan lirik repetitif berbunyi “sister,sister,what did they do to you”. Kesederhanaan aransemen musik secara konsisten menjadi ciri khas The Black Keys, yang justru memperkaya musikalitas mereka. Dua lagu epik bernada minor nan eksploratif, ‘Nova Baby’ dan ‘Mind Eraser’ menutup El Camino. Dengarkanlah El Camino secara keseluruhan, maka rating 7.4 (skala 1-10) yang diberikan oleh portal musik Pitchfork pun akan terasa masih kurang tinggi.




Mamas Gun – The Life and Soul

Kuintet asal kota London ini kembali menggoyang kepala para pendengar setianya lewat album The Life and Soul. Genre yang diusung oleh grup ini seolah tidak main-main. Ya, sang frontman, Andy Platts pun mengamini bahwa mereka membawakan soul-pop-funk-rock music yang berkualitas. Tiga belas lagu dalam The Life and Soul mewakili harmoni yang dipengaruhi oleh band soul lawas, Electric Light Orchestra, juga dengan sedikit rasa Queen, dan musik yang sedikit  anthemic. Lagu ‘Reconnection’ mengawali album dengan hentakan indah, lalu juga ada ‘The Life and Soul’, ‘Rocket Moon’, dan ‘Sending You a Message’ yang dibawakan dengan nuansa epik. ‘Bicycle Race’ milik Queen pun tersaji dengan aransemen khas Mamas Gun yang efektif dan cantik.

Album Review : Feist - Metals | Noel Gallagher's High Flying Birds - selftitled

Feist – Metals

           
Album ketiga Feist, Metals langsung dapat dicerna oleh pendengaran kita dalam situasi sendirian ataupun di tengah hujan yang menenangkan. Chorus dinamis dalam lagu ‘A Commotion’ menjadi kekuatan tersendiri dalam 12 lagu di dalam Metals. Leslie Feist, singer / songwriter asal Kanada yang sudah 34 tahun, masih menunjukkan tajinya dalam kemegahan lagu terbaik di album ini, ‘The Circle Married The Line’. Ketenangan Feist dalam mengelaborasikan instrumen piano, gitar, dan sedikit drum juga tertuang dengan sangat manis di nomor-nomor seperti ‘How Come You Never Go There’ dan ‘Bittersweet Melodies’. Sedikit membandingkan, jika di album Feist sebelumnya ada nomor instrumental sepanjang hampir 7 menit berjudul ‘1234’, anda tidak akan menemukan nomor sejenis itu di Metals, namun lagu bernuansa gitar akustik yang kental dikemas dengan ciamik dalam ‘Cicadas and Gulls’. Tak hanya itu, sedikit irama vokal seorang Feist yang bluesy pun tertuang dalam ‘Anti-Pioneer’. Secara keseluruhan, eksplorasi Feist di Metals memang tidak terlalu signifikan, namun tetap merupakan estetika pop yang mapan.


Noel Gallagher’s High Flying Birds - Noel Gallagher’s High Flying Birds

Setelah konflik berkepanjangan sang kakak-adik Noel – Liam Gallagher yang ditandai dengan bubarnya unit britpop dengan reputasi global, Oasis, sang kakak (Noel) melalui perusahaan rekamannya sendiri (Sour Mash) merilis solo albumnya dengan nama ‘Noel Gallagher’s High Flying Birds’. Walaupun banyak pihak menganggap album ini hanya sekedar proyek balas dendam terhadap Beady Eye nya Liam Gallagher saja, album ini tak dapat dilewatkan begitu saja. Lagu ‘Everybody’s On The Run’ mengawali 12 lagu sarat makna dalam album selftitled ini. Lirik yang amat serius pun muncul dalam lagu ‘Soldier Boys and Jesus Freaks’,yang bercerita tentang tentara-tentara yang berperang atas nama Tuhan. Lirik filosofis dan nada-nada piano rendah serta bunyi gitar yang renyah dapat disimak dalam ‘Stop The Clocks’. Sayangnya, lagu-lagu seperti ‘(Stranded On) The Wrong Beach’, ‘AKA… What A Life!’, dan ‘The Death of You And Me’ hanya seperti kemasan yang diisi ulang oleh nuansa Oasis yang kental. 

Tuesday, June 21, 2011

'Your melodramatic instant sign is beyond my reach'

ooooookkaaaay, setelah sekian windu nggak ngepost apa-apa di blog baru dan sederhana ini, saya akan menggeliat lagi di sini.

singkatnya, sore tadi saya baru pulang main futsal, dan kecapekan. terang saja kecapekan, kalo gak kecapekan, berarti tadi saya main catur. oke, abaikan. terus sesampainya di kost, alih-alih istirahat dan mandi untuk menggosok-gosok ketiak dan bagian-bagian lain di tubuh saya yang tentunya bau dan berdaki karena setelah berolahraga, saya malah menghidupkan leptop, mengambil gitar (pinjeman), dan pengen nyanyi-nyanyi. alhasil, saya pun (bahasa kerennya) mengcover lagu dari Band asal Jakarta (bekasi sih, kalo gak salah, tepatnya mah) kesukaan saya, dan sekalian juga saya deklarasikan di sini bahwa saya adalah die-hard fans nya mereka. tak lain tak bukan, The Trees & The Wild. lagu tersebut adalah lagu yang berjudul ibukota negara Jerman. kalo nggak tau, googling dulu sana. silakan. iseng loh ini.


Sunday, May 8, 2011

I know I won't be leaving here (with you).

Terlintas seketika saja ingin berkata-kata sedikit tentang suatu lagu yang awalnya melekat di telinga saya ketika band teman-teman saya, Brother Beer , manggung membawakan lagu ini. Kalau tidak salah, waktu itu di suatu cafe di bilangan Timoho, Yogyakarta. 
Lagu ini sebenarnya sudah dirilis sejak 7 tahun yang lalu, ya, tahun 2004, tapi jujur saya baru sangat menikmatinya beberapa bulan terakhir. Bagi saya lagu ini amat menggugah kesehatan pendengaran para pecinta rock sejati.

Tiga Review Singkat

Hullo universe, so i'm on this blog thing now, this is my first time to post something here. Yak, ini adalah tulisan pertama saya di blog. Nama blog ini, seperti yang tertera di web address di atas, iyokmenggeliat. Ada filosofis (halah pret) panjang dibalik penggunaan menggeliat, baik di twitter maupun di sini. Untuk percobaan, saya akan mencoba untuk membagi pemikiran saya mengenai review tiga album musik yang rilis pada kuartal pertama tahun ini, yakni album keempat The Strokes, yaitu Angles, album perdana Morfem Band , band anyar Jimi Multhazam -dedengkot band new wave The Upstairs-, dan album baru dari Tahiti 80, The Past, The Present, and The Possible. Tiga review ini sangat singkat sekali, karena waktu itu teman saya dari sebuah majalah meminta saya untuk menulis review album untuk dimasukkan kedalam e-magz miliknya. Jadi ada kemungkinan saya akan ingin menulis lagi tentang salah satu dari ketiga band ini dengan lebih komplek dan elaboratif.hahaha. Ya, tiga review berikut pernah dimuat di e-magz Words of Magazine edisi ke-22.

The Strokes – Angles

Keinginan sang frontman, Julian Casablancas untuk ‘menghidupkan’ kembali band yang berjaya pada era 2000-an awal ini pun tertuang dalam Angles. Full album keempat The Strokes setelah Is This It (2001), Room On Fire (2003), dan First Impressions Of Earth (2006) ini menyajikan materi yang sangat berbeda dari sebelumnya. Dengan Under Cover Of Darkness sebagai single pertama yang dibagikan The Strokes secara gratis melalui website mereka, penggemar sejati mereka pun diuji dengan perbedaan tingkat musikalitas Casablancas dan kawan-kawan. Meski tidak semua dari sepuluh lagu di album Angles ini menunjukkan ‘penyegaran’ dari The Strokes –yang dijuluki saviors of rock n roll ketika merilis album debutnya Is This Is, lagu-lagu seperti Life Is Simple In The Moonlight, Gratisfaction, dan Call Me Back masih memiliki kekuatan untuk menjadi ‘suplemen’ khas The Strokes bagi para pendengar.


Morfem – Indonesia

Nafas baru yang dihembuskan oleh Jimi Multhazam pada awal tahun 2011 ini sangatlah enerjik. Album bertajuk ‘Indonesia’ ini menunjukkan bahwa pria yang umurnya sudah kepala tiga seperti Jimi masih mampu mengumpulkan musisi-musisi cutting-edge berbakat seperti Pandu Fuzztoni, Freddie Warnerin, dan Bramasta Sasongko dalam satu wadah bernama Morfem. Musik berdistorsi kotor nan bising namun apik di telinga yang disuguhkan Morfem mengingatkan kita akan band alternative era 90an, melalui lagu-lagu bertema hal konyol yang terjadi di sekitar kita seperti Pilih Sidang Atau Berdamai, Wahana Jalan Tikus, dan tentunya Gadis Suku Pedalaman, single yang sudah lebih dulu berkeliaran dari satu radio ke radio lainnya di Bandung, Jakarta, dan sekitarnya. Kesederhanaan notasi yang kuat, kepekaan menulis lirik yang tersendiri, dan mengangkat deskripsi realitas adalah tiga hal yang ditunjukkan Morfem dalam album berisi tujuh lagu ini.


Tahiti 80 – The Past, The Present, and The Possible

Band asal Prancis yang akrab di telinga para pendengar sejak album debutnya, Puzzle ini kembali menyuguhkan rasa indie pop yang manis dalam album terbarunya. The Past, The Present, and The Possible pun secara konsisten masih menunjukkan karakter dinamis dari suara sang vokalis-gitaris, Xavier Boyer. Walaupun beberapa pihak memberi rating yang lebih rendah untuk album baru mereka dibanding album-album Tahiti 80 sebelumnya, lagu-lagu bertempo cepat seperti Easy, Defender, Rain Steam and Speed, dan Gate 33 masih diwarnai oleh karakter ‘pop geniuses’, bukan ‘pop wannabes’, yang cocok pula menemani perjalanan ke pantai atau perjalanan penuh keceriaan lainnya.